“أحب الناس إلى الله أنفعهم للناس”
“Manusia yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat”
Kita melihat banyak sekali kelebihan dan
daya yang terpendam di dalam jiwa seseorang dan kita merasakan
sumber-sumber kebaikan yang tersimpan dalam diri pemiliknya. Akan tetapi
hal itu tidak menular kepada orang lain, tidak memberikan manfaat dan
tidak pula menyumbangkan faedah. Bagaimana gambaran yang menyakitkan
ketika engkau melihat seorang faqih (ahli fikih) berteman orang jahil
yang tidak mengambil faedah apapun dari fikihnya, seorang qari (ahli
baca al-Qur`an) yang ditemani orang yang ummi (tidak boleh baca tulis)
yang tidak berguna baginya keindahan bacaannya, dan seorang ‘abid
(ahli ibadah) yang berada di samping seorang yang fasik yang tidak
menular sedikitpun dari keshalehannya. Dakwah itu sendiri merupakan
manfaat yang bersifat umum, maka ketika Abu Dzarr masuk Islam,
pembicaraan Rasulullah SAW bersamanya adalah sabda beliau kepadanya:
فَهَلْ أَنْتَ مُبَلِّغٌ عَنِّي قَوْمَكَ, لَعَلَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يَنْفَعَهُمْ بِكَ وَيُأْجُرَكَ فِيْهِمْ
“Apakah engkau bisa menyampaikan kepada kaum engkau tentang dakwahku, semoga Allah memberi manfaat kepada mereka dengan (dakwah) engkau, dan memberi pahala kepadamu pada mereka.”[1]
Tarbiyah pertama pembicaraan setelah
beliau masuk Islam adalah tarbiyah berdakwah dan berusaha menyalurkan
manfaatnya kepada orang lain.
Bapa saudara Jabir bin Abdullah meruqyah
dari sengatan kalajengking, maka ia berkata,’Wahai Rasulullah,
sesungguhnya engkau melarang dari ruqyah dan sesungguhnya aku meruqyah
dari sengatan kalajengking.’ Seolah-olah dia minta izin dalam hal itu.
Maka Rasulullah SAW bersabda:
مَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ
“Barangsiapa yang boleh memberi manfaat kepada saudaranya, maka hendaklah ia melakukannya.’ [2]
Dan terkadang engkau menemukan sebagian
orang yang enggan melakukan sesuatu yang tidak membahayakannya, padahal
berguna bagi orang lain, karena hanya mengurus kepentingan pribadinya.
Ini bukanlah sifat seorang muslim. Karena alasan itulah, Umar bin
Kaththab ra mencela Muhammad bin Maslamah ra ketika ia menghalangi
adh-Dhahhak ra bin Khalifah menggali saluran air yang mengalir ke
tanahnya yang melalui tanah Muhammad bin Maslamah t, maka Umar berkata:
‘Kenapa engkau menghalangi sesuatu yang berguna untuk saudaramu, dan ia
menjadi manfaat untukmu, engkau menyiram dengannya yang pertama dan
terakhir, dan ia tidak membahayakanmu…demi Allah, ia pasti melaluinya
sekalipun di atas perutmu.’[3]
Seorang muslim pada dasarnya selalu
berusaha memberikan bantuan kepada yang memerlukannya, memberi nasehat
kepada yang tidak mengetahuinya, memberi manfaat kepada yang berhak
menerimanya berdasarkan motivasi dan keinginan dari dirinya. Rasul kita
Muhammad SAW mengatakan kepada bapa saudaranya Abbas bin Abdul
Muththalib, ’Wahai pakcikku, bukankah aku mencintaimu? Bukankah aku
memberikan manfaat kepadamu? Bukankah aku menyambung silaturrahim
kepadamu?[4] Dan di antara wasiat Rasulullah saw kepada Abu Barzah
ketika ia berkata kepada beliau: Wahai Rasululah, ajarkanlah kepadaku
sesuatu yang dengannya Allah memberi manfaat kepadaku.’ Beliau bersabda:
اُنْظُرْ ماَيُؤْذِي النَّاسَ فَاعْتَزِلْهُمْ عَنْ طَرِيْقِهِمْ
‘Lihatlah sesuatu yang menyakiti manusia, maka singkirkanlah dari jalan mereka.’[5]
Bantuan seperti ini menambah sifat
tawadhu’ dan menanamkan makna-makna kebaikan di dalam jiwa seorang da’i,
serta menjadikan masyarakat di sekitarnya melihat semangat bekerja
padanya dalam segala hal yang memberi manfaat atau menolak bahaya dari
mereka.
Dan apabila seorang mukmin mengingat
nikmat Allah kepadanya dengan memberi hidayah, merasakan manisnya iman
dan kenikmatan taat, maka ia tidak akan kedekut dengan kata-kata yang
baik (memberi nasehat dan dakwah), untuk menyelamatkan manusia yang
masih belum merasakan seperti yang telah dia rasakan dan terhijab dari
apa yang telah dia kenal. Karena itulah, Nabi SAW memberi perumpamaan
dengan bumi yang subur, yang menerima hujan lalu menumbuhkan tanaman,
maka beliau bersabda:
وَذلِكَ
مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِى دِيْنِ اللهِ عز وجل وَنَفَعَهُ اللهُ عز وجل بِمَا
بَعَثَنِي اللهُ بِهِ وَنَفَعَ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ…
“Maka itulah perumpamaan orang paham terhadap agama Allah, dan Allah memberi manfaat kepadanya dengan ajaran yang Dia I mengutusku dengannya, mengambil manfaat dengannya, mengetahui dan mengajarkan (kepada orang lain)…”[6]
Dan Rasulullah tidak membiarkan
kesempatan duduknya seorang anak laki-laki di belakangnya –seperti Ibnu
Abbad tanpa memberikan manfaat kepadanya yang merupakan tarbiyah baginya dan mengisi waktu perjalanan, beliau bersabda kepadanya:
أَلاَ أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللهُ بِهِنَّ …احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ…
“Wahai anakku, aku mengajarkan kepadamu beberapa kalimat (pesan) yang Allah I memberi manfaat kepadamu dengannya: Jagalah Allah I niscaya Dia I menjagamu…”[7]
Para sahabat juga mengikuti akhlak
yang mulia ini, Abu Hurairah berkata kepada Anas bin Hakim, ‘Wahai anak
muda, mahukah engkau kuceritakan kepadamu satu hadits, semoga Allah
memberi manfaat kepadamu dengannya?…sesungguhnya yang pertama-tama manusia dihisab pada hari kiamat dari amal perbuatan mereka adalah shalat…”[8]
Memberikan manfaat kepada kaum kerabat lebih wajib dan lebih banyak pahalanya. Abu Qilabah berkata: ‘Laki-laki
manakah yang lebih besar pahalanya daripada seseorang yang memberi
nafkah keluarganya yang kecil, membuat mereka bersikap ‘iffah atau Allah
memberi manfaat kepada mereka dengannya, Allah menolong mereka dengan (perantaraan)nya dan Dia mencukupkan mereka.”[9].
Perhatian kepada kawan dan kerabat seperti ini menarik hati mereka dan
menyambung tali silaturrahim, simbol keakraban, tanda cinta, bukti kasih
sayang, terutama saat adanya anak-anak kecil dalam keluarga mereka,
yang kehilangan perhatian, kasih sayang dan kebutuhan manusia yang
terpenting.
Sesungguhnya pintu-pintu manfaat sangat banyak, Rasulullah SAW menggabungkannya dengan sabdanya:
عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ صَدَقَةٌ
“Setiap muslim harus bersedekah…”
فَيَعْمَلُ بِيَدَيْهِ فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ…فَيُعِيْنُ ذَا الْحَاجَةِ الْمَلْهُوْفِ
‘Maka ia bekerja dengan kedua belah
tangannya, memberi manfaat kepada dirinya dan bersedekah…menolong orang
yang sangat memerlukan…”
dan jika seorang mukmin tidak melakukan sedikitpun dari hal itu:
فَلْيُمْسِكْ عَنِ الشَّرِّ فَإِنَّهُ لَهُ صَدَقَةٌ
‘Maka hendaklah ia menahan diri dari berbuat kejahatan, maka hal itu menjadi sedekah baginya.”[10]
Ini adalah tingkatan memberi manfaat
yang terendah, yang tidak pantas bagi seorang muslim lebih rendah
darinya dan tidak wajar seorang da’i berada pada tingkatan itu.
Dan jihad adalah tingkatan memberi
manfaat yang tertinggi dan ‘uzlah adalah yang paling rendah: seorang
arab badawi bertanya: ‘Wahai Rasulullah, manusia apakah yang terbaik?
Beliau menjawab:
رَجُلٌ جَاهَدَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ وَرَجُلٌ فِى شِعْبٍ مِنَ الشِّعَابِ يَعْبُدُ رَبَّهُ وَيَدَعُ النَّاسَ مِنْ شَرِّهِ
‘Seseorang yang berjihad dengan jiwa
dan hartanya dan seseorang yang tinggal di salah satu lembah, menyembah
Rabb-nya, dan meninggalkan manusia dari kejahatannya.”[11]
Dan orang yang berjihad, ia
memberikan manfaat kepada manusia dengan pengorbanan jiwa dan hartanya,
untuk menjaga mereka dan menakuti musuh mereka. Ini adalah kebaikan
terbesar, dan manusia berbeza-beza dalam kebaikan di antara kedudukan
pejuang (mujahid) dan orang yang ber’uzlah, yang menahan dirinya dari
berbuat jahat kepada orang lain.
Di antara gambaran amaliyah untuk
menciptakan manfaat bahwa engkau tidak membiarkan tanah yang engkau
miliki menganggur, tanpa diurus atau ditanam, padahal engkau mempunyai
saudara yang menganggur, yang mampu mengurus tanah itu dan mengambil
manfaat dengannya. Dalam hal itu, Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا فَإِنْ لَمْ يَزْرَعْهَا فَلْيُزْرِعْهَا أَخَاهُ
“Barangsiapa yang mempunyai tanah,
hendaklah ia menanaminya. Apabila ia tidak dapat menanaminya, maka
hendaklah ia meminta saudaranya untuk menanaminya.”[12]
Sangat banyak di kalangan kaum
muslim yang mempunyai kemampun yang menganggur, kekayaan yang terpendam,
dan energi yang terbuang percuma, dan kita tidak berfikir untuk
memanfaatkannya, yang manfaatnya kembali kepada kaum muslimin. Apakah
engkau memberikan sumbangan dengan ilmu pengetahuanmu, bersedekah dengan
keringatmu, membantu dengan usahamu, agar engkau selalu termasuk dari
orang yang dijadikan Allah sebagai kunci kebaikan, penutup keburukan,
dan saat itulah kabar gembira untukmu adalah surga.
Dan Nabi SAW menjadikan seorang mukmin
sebagai perumpamaan selalu memberi manfaat dengan pohon kurma karena
selalu hijau dan boleh memberikan manfaat dengan semua yang ada padanya,
beliau bersabda:
إِنِّي َلأَعْلَمُ شَجَرَةً يُنْتَفَعُ بِهَا مِثْلُ الْمُؤْمِنِ
“Sesungguhnya aku mengetahui pohon yang diambil manfaat dengannya seperti seorang mukmin.’[13]
Dan seorang mukmin berusaha
memberikan manfaat untuk manusia karena Allah , mengharap ridha-Nya, dan
tidak dikuasai oleh perasaan peribadi atau posisi yang berbeza. Rabb
mencela Abu Bakr saat ia bersumpah tidak akan memberi nafkah kepada
Misthah bin Utsatsah karena ikut serta dalam peristiwa ifki (berita
bohong). Maka tatkala turun firman Allah :
وَلاَيَأْتَلِ
أُولُوا الْفَضْلِ مِنكُمْ وَالسَّعَةِ أَن يُؤْتُوا أُوْلِى الْقُرْبَى
وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلْيَعْفُوا
وَلْيَصْفَحُوا أَلاَتُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللهُ لَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌ
رَّحِيمٌ
Dan janganlah orang-orang yang
mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka
(tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang
yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan
hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada.Apakah kamu tidak ingin
Allah mengampunimu ?Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(QS. an-Nur:22)
Abu Bakar berkata: bahkan, demi Allah,
sesungguhnya kami ingin agar Dia mengampuni kami. dan iapun memberikan
manfaat kepada Misthah.
Apakah engkau ingin agar Allah
mengampunimu, maka marilah terus menambah dalam berdakwah, memberi
nasehat, faedah dan manfaat, memanfaatkan waktu dan kemampuan… maka
sesungguhnya ia seperti yang disabdakan oleh Nabi SAW:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain.”[14]
Kesimpulan:
1. Apabila seorang mukmin tidak memberikan manfaat, berarti kebaikannya tidak menjalar kepada orang lain.
2. Barangsiapa yang boleh memberi manfaat kepada saudaranya maka hendaklah ia melakukannya.
3. Segera memberikan manfaat sebelum diminta.
4. Memanfaatkan semua kesempatan untuk menyampaikan kebaikan (berdakwah dan menyampaikan mesej Islam).
5. Manfaat yang paling wajib adalah untuk kaum kerabat.
6. Barangsiapa yang tidak mampu memberikan manfaat, maka hendaklah ia bersungguh-sungguh untuk tidak membahayakan orang lain.
7. Manfaat yang paling tinggi adalah jihad dan yang terendah adalah ‘uzlah.
8. Perlu tingkatkan lagi usaha berdakwah, dengan menyebarkan kata-kata nasehat dan peringatan.
9. Gunakan segala kemampuan yang Allah kurniakan untuk Agama Allah dan dalam membantu perkembangan dakwah.
10. Manfaat menjadi dengan memberikan dukungan dengan harta dan kekuasaan (infaqkan untuk Islam).
11. Di antara karekteristik seorang mukmin adalah: kebaikannya saja yang selalu terus dirasakan dan banyak manfaatnya.
12. Yang bermanfaat adalah manusia yang terbaik.
Telah diedit semula dari sumber asal: Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah
Sumber Rujukan:
[1] Shahih al-Jami’, no. 176 (Hasan)
[2] Shahih Muslim, kitab fadhail, bab ke-28, no. 132/2473.
[3] Muwaththa’ Imam Malik, kitab Aqdiyah, bab ke-26, hadits ke 33.
[4] Shahih Sunan Ibnu Majah , kitab shalat, bab ke-190 no. 1138.
[5] Musnad Imam Ahmad 4/423.
[6] Shahih al-Bukhari, kitab ilmu, bab ke-20, no. 79 (Fath al-Bari 1/175).
[7] Musnad Imam Ahmad 1/307 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 7907.
[8] Musnad Imam Ahmad 2/425, dan lafazh yang marfu’ dalam shahih Sunan Abu Daud no. 770/864 (Shahih).
[9] Shahih Muslim, kitab zakat, bab ke-12, hadits 38/994 (Syarh an-Nawawi 4/85).
[10] Shahih al-Bukhari, kitab Adab, bab ke-33, no. 6022 (Fath al-Bari 10/447)
[11] Shahih al-Bukhari, kitab riqaq, bab ke-34, hadits no. 6494 (Fath al-Bari 11/330).
[12] Shahih Muslim, kitab jual beli, bab ke-17, hadits no. 88 (Syarh an-Nawawi 5/454)
[13] Musnad Ahmad 2/115, seperti dalam riwayat al-Bukhari dalam kitab ilmu, bab ke-5, no 62 (Fath 1/147)
[14] Shahih al-Jami’ no 3289 (Hasan).
sumber - dakwah info utama
No comments:
Post a Comment